Friday 8 January 2010

Yang tersisa dari Indonesia vs Oman


Saya mungkin bukan pecinta sepakbola nasional yang fanatik seperti rasa terhadap Liverpool. Perkembangan sepakbola nasional hampir tidak saya ikuti sehingga saya tidak hapal sebelas pemain inti PSSI, prestasinya yang sudah suram, yang saya tahu katanya mau jadi tuan rumah ketika saya berusia 40an, sekumnya yang itu2 aja, ketuanya yang kena kasus, dan kekerasan yang timbul kalo pertandingan Liga.

Sepakbola memang bisa menghubungkan tali silaturahmi, ketika ajakan untuk nonbar langsung di GBK antara Indonesia vs Oman, dari temen facebook yang sama2 cinta Liverpool- Christie Hardini, muncul di invitation jejaring sosial itu. Teman ini sangat menyokong Indonesia dan sering mengajak nonton bersama. Kali ini ajakan tersebut coba untuk disambangi. Sekalian kopi darat pertama.

Bukan tanpa alasan jika undangan sebelumnya agak malas karena jadwal hari kerja yang merepotkan dimana harus berbagi waktu dengan baik. Yang saya tahu pertandingan international biasanya di akhir pekan, sehingga kesempatan menyaksikan timnas bisa bersama keluarga yang mengakibatkan dimulainya penanaman rasa cinta akan timnas kepada anak sejak dini. Sehingga anak2 bisa sama2 kenal pemain PSSI dan klub asing.

Jadwal pertandingan jam setengah tujuh, lebih cepat setengah jam dari waktu ditiket artinya persiapan minimal tiga jam sebelumnya, dengan pertimbangan macet dan menunggu. Makan siang yang dipercepat dan menyelesaikan sehari sebelumnya beberapa tugas dilakukan agar bisa dengan leluasa meninggalkan kantor. Bintaro ke PS bisa ditempuh setengah jam. Parkir di PS dengan pertimbangan kemudahan pulang dan keamanan meski jalan kaki yang agak jauh. Biaya parkir di Senayan biasanya bertambah dengan pungli para preman yang mengatur parkir dan meninggalkan begitu saja mobil tanpa pengawasan, serta bakal susahnya keluar ditengah arus masa.


Karena tempat pertemuan di lapbasket abc maka harus dilakukan tawaf setengah keliling Senayan dari pintu keluar PS didekat hotel Centur Park. Lumayanlah untuk orang yang seharian duduk dimeja. Sepanjang jalan terlihat anak kecil yang berlatih sepakbola yang mengingatkan kegiatan masa kecil ketika bermain bola dengan bola plastik yang mengakibatkan sepatu sekolah dua minggu harus ganti. Bola plastik hasil udunan dan bermain ketika istirahat. Ada keinginan untuk menyekolahkan anak supaya bisa bermain bola namun jarang pemain wanita disini. Masa penantian yang jemu sedikit terhibur dengan permainan basket dan tingkah polah pendukung PSSI. Asal muasal daerah yang begitu kental seakan mencair dengan kostum Merah Putih. Tidak ada lagi biru Viking, oranye Jakmania atau hijau Ayam Kinantan.

Pertemuan jadinya digate 1 tempat VIP barat masuk beberapa menit sebelum pertandinga dimulai karena rekan saya harus menunggu beberapa temannya yang lain. Inilah Ukuwah Liverpooliah, seakan saudara meski ga pernah ketemu langsung. Meski diantara teman ada yang berlainan aliran tapi hal itu tidak membuat perbedaan karena saat ini dukungan sepenuhnya untuk Indonesia. Selain itu ada juga rekan pecinta Liverpool asal Kalimantan yang dikenal sewaktu nonbar di Singapura. Sengaja dia datang dari Kalimantan untuk menyaksikan timnas bertarung ditengah liburannya. Perasaan jadi sedikit bersalah dengan pengorbanan rekan yang bernama Ahmad Hanafie itu.


VIP barat yang semula lowong menjadi penuh seketika bukan karena masuk penonton dari pintu tapi dari jebolnya pagar sebelah kiri sehingga penonton kasta rendah bisa berpindah. Sebuah tindakan tak terpuji dengan memanfaatkan lemahnya pengawasan panitia dalam menjamin nyamannya menonton sesuai dengan tiket yang dibayar. Akibatnya banyak penonton yang berhak hanya bisa berdiri dimulut pintu masuk karena tempat mereka sudah diambil alih.

Pertandingan dimulai ketika lagu kedua kebangsaan usai dinyanyikan. Ada rasa haru dan bangga menyelimuti saat lagu ciptaan WR Supratman itu bersama-sama dinyanyikan. Sebelas pemain yang bergarudakan dadanya pasti lebih bangga dan semangat menyanyikannya. Mereka adalah sebelas dari ratusan juta penduduk Indonesia. Sebuah kehormatan besar bisa mengenakan kostum itu. Dulu pernah sedikit bercita-cita seperti mereka. Rasa iri muncul karena keberuntungan mereka.

Indonesia sebagai tuan rumah, tentu tak ingin keuntungan itu hilang begitu saja. Dengan melihat postur yang berbeda jauh yang harus dilakukan adalah memaksimalkan kecepatan dengan umpan terukur serta daya juang tinggi tanpa kenal menyerah. Ternyata semua kehormatan, kebanggan itu tidak muncul karena Indonesia praktis dikurung sepanjang pertandingan. Oman memanfaatkan tinggi postur tubuh dengan umpan lambung dan tusukan dari sisi kanan Indonesia. Untungnya Oman belum menjadi kekuatan yang baik sehingga jalannya pertandingan sedikit bosan untuk dinikmati. Gol Oman terjadi dari tendangan bebas dengan sundulan, satu hal yang sulit dicegah. Indonesia berusaha membalas namun tidak tahu dari mana. Serangan sporadis tanpa pola yang mudah dipatahkan dijantung pertahanan Oman dengan satu sentuhan.

Keberuntungan sedikit hadir saat Boaz bisa mencuri bola dan berlari untuk berhadapan dengan kiper Oman yang membela tim Bolton Inggris. Dengan tengan keras, gol balasan pun terjadi yang disambut dengan gegap gempita persis perayaan tahun baru karena diiringi oleh petasan dan kembang api. Yah, persis pertandingan kelas tarkam karena akan sangat membahayakan keamanan para penonton. Lagi-lagi kelemahan panitia terlihat dengan jelas karena tidak bisa mencegah barang berbahaya itu masuk stadion. Sampai akhir babak pertama, kedudukan imbang satu sama.

Babak kedua, Indonesia masih belum bisa menampilkan pertandingan terbaiknya dan Oman tetap dengan skill biasa yang mereka miliki. Sementara penonton yang tadinya bersemangat dengan nyanyian, teriakan dan gerakan mexican wave, pelan-pelan memudar dengan satu persatu meninggalkan tempat duduk. Sebuah aksi yang wajar ditengah penampilan buruk yang ditampilkan oleh timnas.

Oman berhasil menambah gol saat pemainya dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan Indonesia untuk merobek jala gawang. Indonesia pun makin terpuruk. Tak ada daya dan upaya dari pemain dilapangan rupanya sangat menjengkelkan para penonton, bukan cuma makian tapi juga aksi heroik sedikit nyeleneh dari pria yang berada di tribun sebelah kanan. Pada waktu injury time, dia melompat pagar dan masuk lapangan tanpa bisa dicegah polisi didaerah itu dan berlari mengejar bola untuk membawanya dan berhadapan dengan kiper Oman. Aksi dengan iringan tepukan tangan penonton itu berakhir dramatis saat pria bernama Hendry Mulyadi, yang gagal mencetak gol karena bolanya tertangkap kiper Oman, diringkus oleh dua polisi dan diamankan.

















Sebuah pukulan telak bagi kita semua. Bagi para pemain yang tidak bisa memberikan yang terbaik bagi bangsa dan rakyatnya yang sudah mendukung dengan berbagai cara untuk hadir. Bagi panitia yang berusaha mengamankan jalannya pertandingan. Bagi penonton yang tidak bisa menjaga rekannya berbuat anarki, dan terutama bagi PSSI yang mengemban amanat memajukan sepakbola nasional.


Pertandingan berakhir untuk kemenangan Oman. Indonesia kalah namun pecinta sepakbola Indonesia tidak kalah. Meski PSSI seperti tidak menuju kearah positif namun dukungan akan selalu hadir dari orang seperti Hendry, Hanafie, dan Christie. Perjalanan tawaf pulang menuju PS dilanjutkan dengan melingkari setengah Senayan dari sisi berlawanan. Pegal kaki ketika sampai dimobil tidak dihiraukan. Dengan mengambil jalur Mintohardjo menuju Benhill sehingga bisa masuk tol dari sana untuk menghindari Sudirman yang pastinya macet, pulang sambil mengingat kejadian barusan sepertinya lebih nikmat untuk dijalani.

No comments:

Post a Comment